Hari ketiga Imamku terbujur sakit. Tak tega melihatnya begitu lemah, bahkan untuk berdiri saja ia seperti mau ambruk. Allah, sembuhkan ia. Angkat semua penyakit dan sakit yang ada di dirinya. Atau berikan saja sakitnya untukku. Biarkan aku yang merasakan sakitnya. Aku merasa, bahwa seorang istri benar-benar diuji kesabaran dan baktinya saat Imam yang begitu dikasihinya terbujur sakit. Mungkin ini yang dirasakan oleh Ibu, dulu sewaktu Bapak sakit keras. Sewaktu aku masih duduk di kelas empat Sekolah Dasar, Bapak jatuh sakit. Hampir empat bulan lamanya ia hanya bisa terbaring di atas tempat tidur. Segala macam upaya untuk penyembuhan Bapak sudah dikerahkan oleh Ibu, sebab sanak yang lain terlalu acuh untuk peduli. Bahkan ada yang tega berkata, bahwa Bapak tak lagi punya harapan untuk sembuh dan bertahan hidup lebih lama. Ibu hanya berjuang sendiri, ke sana ke mari mencari obat dan tambahan dana demi kesembuhan Bapak. Dokter bilang, ginjal Bapak sudah sangat parah. Selain itu, ia kerap muntah dan BAB dengan mengeluarkan darah. Aku tak tega melihat Ibu menangis sendiri, Ibu benar-benar membuktikan kesetiaannya meski kesedihan dan rasa lelah mendera begitu dalam. 

Aku ikut menangis, bahkan saat mengingat masa itu aku masih kerap menangis. Tapi tangis yang ada padaku saat ini tak lebih dari wujud syukur karena Allah masih izinkan Bapak berumur panjang hingga detik ini, semoga sampai nanti, saat kami mampu mewujudkan semua harapannya. Harapan Bapak yang ingin agar semua anak-anaknya dapat menjadi orang yang sukses dan berhasil. Masih terekam jelas dalam ingatanku, saat Ibu datang ke rumah salah satu saudara Bapak untuk meminta bantuan, tapi tak sedikitpun dari mereka yang mengindahkan maupun memberi belas kasih pada Ibu dan aku, yang rela berjalan kaki meski jarak yang ditempuh sangat jauh. Higga Ibu pulang dengan hanya membawa perih dan airmata bercucuran, merasa tak ada lagi orang yang peduli pada kesulitan kami. Aku tak dapat berkata apa-apa kecuali diam menyaksikan satu per satu butiran airmata Ibu membanjiri wajahnya. Aku bingung, waktu itu aku masih bocah ingusan yang tak tahu harus berbuat apa untuk mengurangi beban Ibu.

Tubuh Bapak kian hari tampak terus melemah. Tulangnya menyembul jelas seolah hanya kulit yang membungkus tubuhnya. Kurus dan sangat menyedihkan. Terutama saat ia memuntahkan darah dari mulutnya, dan Ibu hanya dapat menangis dengan terus menyebut asma Allah. Aku tak kuat, aku berlari untuk merayu Allah. Menangis dalam sujud shalatku, sesegukan dengan hati perih tak tertahan melihat sosok yang begitu kusayangi hampir sekarat karena sakit yang menderanya. Mengaji dengan isak yang membuat suaraku parau. "Allah, sembuhkan Bapak. Jangan ambil dia dari kami secepat ini. Allah kabulkan doaku. Jangan biarkan Ibu terus menerus bersedih. Allah.. Aku sayang, Bapak. Aku tak ingin kehilangan, Bapak". Mulutku terus berucap lirih untuk dapat meyakinkan Allah, agar Ia kabulkan doaku. Guru ngajiku pernah berkata, bahwa doa anak-anak yang shaleh akan mudah dikabulkan oleh Allah. Setiap mengingat ucapan guru ngaji tersebut, setitik semangat berpendar dalam jiwaku bahwa Allah mendengar dan akan mengabulkan doaku dengan segera. Aku tak pernah nakal, Allah pasti mengabulkan doaku. Pikirku kala itu. Dan benar.. Setelah empat bulan masa tersulit yang kami hadapi, Allah mulai menunjukkan kebesaranNya. Bapak entah bagaimana caranya, sedikit demi sedikit kesehatannya mulai pulih. Pikiran kanak-kanakku begitu yakin, bahwa Allah yang melakukan ini. Allah mengabulkan doaku. Lihat... Bapak sembuh! Bapak sembuh! Allah terima kasih.. Alhamdulillah..

*** 

Mataku menghangat. Basah. Saat jari jemari ini terus menuliskan kisah tentang sosok lelaki hero yang tetap kusayangi hingga detik ini dan bahkan seterusnya. Sosok Bapak yang tak pernah lelah mendoakan kami meski tidak dalam ucapan yang jelas terdengar. Sama seperti Ibu, dalam diam, juga dalam jarak yang jauh, mereka senantiasa mendoakan anak-anaknya. Kalian orangtua terbaik yang pernah kumiliki di dunia ini, tak ada kalian.. maka tak ada pula aku. Terima kasih untuk jejak-jejak kenangan yang takkan pernah terlupakan. Hari ini, esok, lusa, hingga saat di mana usia kan menuakan ragaku.  Semoga Allah pertemukan kita semua di dalam Jannah-Nya. Aamiin Allahumma Aamiin.

***

Menoleh sejenak, memperhatikan wajah yang tengah tertidur pulas, sambil terus melanjutkan tulisan ini. Untukmu, Imamku... Semoga Allah lekas memberikan kesembuhan pula untukmu. Mengangkat segala macam penyakit hingga tak berbekas, dan memberimu senantiasa nikmat hidup berupa kesehatan. Aamiin. Sepi tanpa semangat dan bias tingkahmu yang mewarnai rumah ini. Dan... Jangan pernah lelah membimbingku ke jalan yang lebih baik lagi. Jalan yang Allah ridhoi, yang saling mencintai hanya karenaNya. Ana uhibbuka fillah.   

0 Komentar